"Anda boleh marah dengan keadaan anda yang buruk tapi jangan sampai merusak tubuh karena anda akan sangat menyesal ketika keadaan anda membaik" "Hidup ini berputar bagai roda, ada saatnya anda tersenyum dan ada saatnya anda mengkerutkan dahi, cobalah untuk mendapatkan pelajaran berharga di setiap kondisi anda" "Tersenyumlah di setiap pertemuan karena senyum mengikat batin yang memandangnya" "Minta maaflah ketika anda salah agar tali silaturahmi tetap terjalin baik" "Cobalah untuk berdo'a ketika anda dalam kesulitan karena do'a menghubungkan anda dengan sang pencipta agar anda selalu dalam lindungan dan pertolongannya" "Marahlah semarah marahnya tapi anda harus tahu orang di hadapan anda juga punya perasaan"You are very concerned with your life, welcome to the blog circumference of human energy, the material on this blog may be beneficial to your life. "you may be angry with your bad situation but not to damage the body because you will be very sorry when the state you better "" Life is like a spinning wheel, there are times when you smile and there are times when you constrict the forehead, try to get a valuable lesson in every condition you "" Smile at each meeting for the inner tie smile looking at her "" Apologize when you're wrong order ties remain intertwined good "" Try to pray when you are in trouble because of prayer connects you with the creator so that you are always in the shadow and his help "" Be angry angry angry but you have to know the person in front of you also have a feeling "

Rabu, 30 Januari 2013

PPPPTK MATEMATIKA

Download Ebook dan Modul Digital DIKLAT PPPPTK Matematika

Paket Fasilitasi KKG/MGMP Matematika


PAKET/MODUL FASILITASI KKG SEKOLAH DASAR
1 SoalCeritaPenjumlahan.pdf  Download
2 Penentuan rumus suku ke n barisan bil polinom.pdf  Download
4 Pembelajaran Pecahan.pdf  Download
5 Penelitian-Tindakan-kelas SD.pdf  Download
6 Permasalahan-Jarak-waktu-kecepatan-pujiati.pdf  Download
8 Pengenalan-bangun-datar-dan-sifatnya SD.pdf  Download
9 Pengenalan-bangun-ruang-dan-sifatnya SD.pdf Download
10 Penyusunan silabus dan RPP Matematika SD dlm melaksanakan KTSP.pdf  Download
11 Pembelajaran Matematika SD dengan Pendekatan Kontekstual.pdf  Download
.
PAKET/MODUL FASILITASI MGMP SMP
13 Analisis SI dan SKL Matematika SMP.pdf Download
14 Standar Penilaian Pendidikan.pdf  Download
17 Permasalahan pembelajaran geometri datar SMP.pdf Download
18 Permasalahan-pembelajaram-geometri-ruang-SMP.pdf Download
19 Pembelajaran statsitik peluang.pdf Download
20 Pengolahan nilai hasil belajar matematika dg Ms Excel.pdf  Download
21 Penerapan Pendekatan Kooperatif STAD.pdf  Download
22 Diagnosis kesulitan belajar matematika SMP.pdf Download
23 Pengenalan Bahasa Inggris untuk Pembelajaran Matematika SMP.pdf Download
.
PAKET/MODUL FASILITASI MGMP SMA
25 Logika Matematika dan Pemecahan masalah dalam pembelajaran.pdf Download
26 Pembelajaran sudut dan jarak dalam ruang dimensi tiga.pdf Download
28 Pembelajaran Kalkulus SMA.pdf Download
29 Pembelajaran-Fungsi.pdf Download
30 Pembelajaran Statistika.pdf Download
31 Pembelajaran barisan,deret bilangan dan notasi sigma.pdf Download
32 PembelajaranPeluangSMA.pdf Download
33 Pembelajaran Lingkaran SMA.pdf Download
34 Psikologi Pembelajaran Matematika SMA.pdf Download
35 PembelajaranTrigonometriSMA.pdf Download
36 Strategi Pembelajaran SMA.pdf Download
37 Prinsip-prinsip penilaian pembelajaran matematika SMA.pdf Download
.
PAKET/MODUL FASILITASI MGMP SMK
38 Penemuan-terbimbing-matematika-SMK.pdf Download
40 Bagaimana-mencapai-tujuan-pembelajaran-matematika-SMK.pdf Download
Related Posts with Thumbnails
3 comments
1 Patta Raden { 05.02.10 at 4:10 pm }
terima kasih untuk admin yang mrnyediakan modul dan fasilitas lainnya di blog ini
2 A. Sahlan { 09.02.10 at 3:05 am }
P4TK… kami peserta diklat pengembang matematika tngkt dasar angkatan IV. Dulu P4TK menjanjikan ada kelanjutannya, tapi kami tdk mendapat informsinya sampai sekarang. Saya peserta dari Gresik. Mohon tanggapan. Terima kasih.
3 P4TMatematika « Belajar Matematika dan Sains SMP-SMA { 09.10.10 at 1:00 pm }
[...] Paket Fasilitasi KKG/MGMP Matematika [...]
Leave a Comment




RPP Berkarakter

Blog Artikel Indonesia: Contoh RPP Berkarakter Eksplorasi, Elaborasi dan K...: RPP Berkarakter - RPP Berkarakter Eksplorasi, Elaborasi dan Konfirmasi baik SD/MI SMP/MTS dan SMA/MA memang Rencana Perangkat Pembelajara...

Jumat, 25 Januari 2013

Perkembangan Keagamaan Anak & Remaja

Perkembangan Keagamaan Anak & Remaja
BAB I
PENDAHULUAN

Usia anak-anak dan remaja adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.
Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private).
Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1.    Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2.    Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3.    Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4.    Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5.    Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.

Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1.    Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2.    Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3.    Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4.    Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.
5.    Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.
6.    Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun
7.    Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.
8.    Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.
9.    Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10.    Masa Tua, umur 60 tahun keatas.

B.     Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Anak-anak
1.     Agama Pada Masa Anak- Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.
Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.

2.     Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak

Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.

2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.

3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a.    Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b.    Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c.    Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
 Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a. Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.

3. Sifat agama pada anak

Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi 6 (enam) bagian:
a. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
 b. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
d. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.
Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
f. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting

C.     Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja

1. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja
Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:
a.      Fase Pueral; Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
b.      Fase Negative; Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
c.      Fase Pubertas; Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen
Dalam pembahasan ini , Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
1.    Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
2.    Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
3.    Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
4.    Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki).

2. Perasaan Beragama Pada Remaja
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat- sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali.
Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.

3. Motivasi Beragama Pada Remaja
Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi, yaitu:
1.    Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.
2.    Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
3.    Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.
4.    Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
4. Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
1. Percaya ikut- kutan
Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.

2. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a.   Dalam bentuk positif; Semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b.   Dalam bentuk negatif; Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
 
3. Percaya, tetapi agak ragu- ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a.   Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
b.   Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.

4. Tidak percaya atau cenderung ateis
Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.

5. Faktor- Faktor Keberagamaan
Robert H. Thouless mengemukakan empat faktor keberagamaan yang dimasukkan dalam kelompok utama, yaitu:
•      Pengaruh- pengaruh sosial
•      Berbagai pengalaman
•      Kebutuhan
•      Proses pemikiran
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi- tradisi sosial dan tekanan- tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama adalah kebutuhan- kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Kebutuhan- kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian, antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.
Faktor terakhir adalah pemikiran yang agaknya relevan untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai kritis dalam menyikapi soal- soal keagamaan, terutama bagi mereka yang mempunyai keyakinan secara sadar dan bersikap terbuka. Mereka akan mengkritik guru agama mereka yang tidak rasional dalam menjelaskan ajaran- ajaran agama islam, khususnya bagi remaja yang selalu ingin tahu dengan pertanyaan- pertanyaan kritisnya. Meski demikian, sikap kritis remaja juga tidak menafikkan faktor- faktor lainnya, seperti faktor berbagai pengalaman.

DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, Mertiana Bandung
Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004
Drs. Psy H.A. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, pnerbit Martiana Bandung,
Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, penerbit Kanisius, hal 9
Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004
Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Posted 12th November 2010 by FDJ. Indra Kurniawan

Model Pembelajaran Konstruktivistik


Model Pembelajaran Konstruktivistik 
 
Pengantar

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.

Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.

Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.

Longworth (1999) meringkas fenomena ini dengan menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’.

Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.

Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik.

Hakikat Pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.

Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif  mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.

Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.

Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman


Hakikat
Model Pembelajaran Konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.


KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK
Diposkan oleh Aby Farhan di 1/01/2012 1 komentar
Lawrence Kohlberg mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan kedalam enam tahap perkembangan moral yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi kedalam tiga tingkatan: prakonfensional, konvensional, dan pascakonvensional. Karakteristik untuk masing-masing tahapan perkembangan moral yang dimaksud disajikan dalam tabel berikut ini.
No    Tingkat    Umur    Nama    Karakteristik
1    Tingkat 1    0-9 thn    Prakonvensional   
    Tahap 1        Moralitas heteronomi (orientasi kepatuhan dan hukuman)    Melekat pada aturan
    Tahap 2        Individualisme/
instrumentalisme
(orientasi minat pribadi)    Kepentingan nyata individu. Menghargai kepentingan oranglain
2    Tingkat 2    9-15 thn    Konvensional    
    Tahap 3        Reksa interpersonal
 (orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (sikap anak baik)).     Mengharapkan hidup yang terlihat baik oleh orang lain dan kemudian telah menganggap dirinya baik.
    Tahap 4        Sistem sosial dan hati nurani (orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (moralitas hukum dan aturan))     Memenuhi tugas sosial untuk menjaga sistem sosial yang berlangsung.
3.    Tingkat 3    Diatas 15 thn    Pascakonvensional    
    Tahap 5        Kontrak sosial     Relatif menjungjung tinggi aturan dalam memihak kepantingan dan kesejahteraan untuk semua.
    Tahap 6        Prinsip etika universal     Prinsip etis yang dipilih sendiri, bahkan ketika ia bertentangan dengan hukum


Perkembangan moral menurut Piaget terjadi dalam dua tahapan yang jelas. Tahap pertama disebut “tahap realisme moral” atau “moralitas oleh pembatasan”  dan tahap kedua  disebut “tahap moralitas otonomi” atau “moralitas oleh kerjasama atau hubungan timbal balik”.
Pada tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan anak mengikuti peraturan yang diberikan oleh mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya.
Pada tahap kedua, anaka menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau lebuh. Anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral.

C. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model.
Bagi para ahli psikoanalisis, perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikoanalisis, moral dan nilai menyatu dalam konsep superego yang dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khususnya orang tua) sedemikian rupa, sehingga akhirnya terpencar dari dalam diri sendiri.
Teori-teori lain yang non psikoanalisi beranggapan bahwa hubungan anak-orang tua bukan satu-satunya sarana pembentukan moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral.
Dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup terterntu, Banyak factor yang mempengaruhi perkembangan moral peserta didik, diantaranya yaitu: 
1) Faktor tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2) Faktor seberapa banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang yang terkenal dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran ideal.
3) Faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara segala segala unsur lingkungan social yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsure lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
4) Faktor selanjutnya yang memengaruhi perkembangan moral adalah tingkat penalaran. Perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menrut tahap-tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
5) Faktor Interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.

 
D. Upaya  Optimalisasi Perkembangan Moral
Hurlock mengemukakan ada empat pokok utama yang perlu dipelajari oleh anak dalam mengoptimalkan perkembangan moralnya, yaitu :
1) Mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum. Harapan tersebut terperinci dalam bentuk hukum, kebiasaan dan peraturan. Tindakan tertentu yang dianggap “benar” atau “salah” karena tindakan itu menunjang, atau dianggap tidak menunjang, atau menghalangi kesejahteraan anggota kelompok. Kebiasaan yang paling penting dibakukan menjadi peraturan hukum dengan hukuman tertentu bagi yang melanggarnya. Yang lainnya, bertahan sebagai kebiasaan tanpa hukuman tertentu bagi yang melanggarnya.
2) Pengambangan hati nuranni  sebagai kendali internal bagi perliaku individu. Hati nurani merupakan tanggapan terkondisikan terhadap kecemasan mengenai beberapa situasi dan tindakan tertentu, yang telah dikembangkan dengan mengasosiasikan tindakan agresif dengan hukum.
3) Pengembangan perasaan bersalah dan rasa malu. Setelah mengembangkan hati nurani, hati nurani mereka dibawa dan digunakan sebagai pedoman perilaku. Rasa bersalah adalah sejenis evaluasi diri, khusus terjadi bila seorang individu mengakui perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi. Rasa malu adalah reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang timbul pada seseorang akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Penilaian ini belum tentu benar-benar ada, namun mengakibatkan rasa rendah diri terhadap kelompoknya.
4) Mencontohkan, memberikan contoh berarti menjadi model perilaku yang diinginkan muncul dari anak, karena cara ini bisa menjadi cara yang paling efektif untuk membentuk moral anak.
5) Latihan dan Pembiasaan, menurut Robert Coles (Wantah, 2005) latihan dan pembiasaan merupakan strategi penting dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini. Sikap orang tua dapat dijadikan latihan dan pembiasaan bagi anak. Sejak kecil orang tua selalu merawat, memelihara, menjaga kesehatan dan lain sebagainya untuk anak. Hal ini akan mengajarkan moral yang positif bagi anak
6) Kesempatan melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Interaksi sosial memegang peranan penting dalam perkembangan moral. Tanpa interaksi dengan orang lain, anak tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui secara social, maupun memiliki sumber motivasi yang mendorongnya untuk tidak berbuat sesuka hati.
Interaksi sosial awal terjadi didalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orang tua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain tentang apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok sosial tersebut. Disini anak memperoleh motivasi yanjg diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang ditetapkan anggota keluarga.
Melalui interaksi sosial, anak tidak saja mempunyai kesempatan untuk belajar kode moral, tetap mereka juga mendapat kesempatan untuk belajar bagaimana orang lain mengevaluasi perilaku mereka. Karena pengaruh yang kuat dari kelompok sosial pada perkembangan moral anak, penting sekali jika kelompok sosial, tempat anak mengidentifikasikan dirinya mempunyai standar moral yang sesuai dengan kelompok sosial yang lebih besar dalam masyarakat.

Sumber-Sumber:
•    Sudarwan Damin dan Khairil, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 80-81
•    Ahmad Fauzi dkk,  Perkembangan Peserta Didik, (LAPIS PGMI, 2008), hlm 9-12

Rabu, 23 Januari 2013

PEMBELAJARAN KOLABORASI


Pembelajaran Kolaborasi
PEMBELAJARAN KOLABORASI

Kita semuanya terbiasa dengan berprilaku berbeda dengan orang lain saat belajar. Ada saat-saat ketika kita menginginkan sesuatu dengan sendirian. Keinginan untuk berprilaku sendirian mungkin pada saat kita ingin meneliti , membaca buku dll. Namun di saat lain kita memerlukan waktu ketika kita bisa ditantang melalui kompetisi, seperti permainan membutuhkan kinerja regu atau kelompok Seperti para guru, kita dapat merencanakan program-program kegiatan individu di dalam kelas sehingga setiap anak bekerja sendirian dengan tenang. Atau dapat merencanakan program-program bersifat kooperatif di mana anak-anak belajar untuk bekerja sama, seperti anggota regu tergantung satu sama lain dan yang dihargai.

Beberapa penelitian menunjukkan kegiatan belajar mengajar yang bersifat kooperatif mempunyai keuntungan-keuntungan penting dalam membentuk pengetahuan secara bersama dan pembangunan jiwa sosial,

Manfaat dari Pelajaran Kooperatif Berupa Prestasi yang Lebih Tinggi
Pingertian dan pendekatan behaviourist memandang akal sebagai suatu karakteristik dari setiap individu. Teori-teori berikutnya menempatkan penekanan jauh lebih besar di pembangunan sosial daripada akal. Pengamatan atas kecerdasan perorangan yang dilihat sebagai suatu proses di mana individu membangun dan mengorganisir tindakan-tindakan mereka bersama-sama atas lingkungan. Doise dan Mugny (1984) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa konflik yang terjadi antara individu dalam kerangka interaksi sosial pengembangan unsur kognitif yang lebih baik. Johnson dalam penelitian kegiatan yang bersifat kooperatif memberikan dukungan terhadap peningkatan prestasi-prestasi akademis yang lebih tinggi dibanding sungguh pelajaran kompetitif atau bersifat perseorangan. Peneliti tersebut sudah menyelenggarakan dua puluh enam studi kelas bahwa melibatkan data prestasi untuk primer dan para siswa sekunder dengan bermacam-macam kemampuan-kemampuan dan dengan variasi waktu, Penelitian tersebut dilakukan pada bidang-bidang yang sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Ada bukti dari prestasi yang meningkat lebih tinggi dalam dua puluh salah satu dari dua puluh enam studi.

Johnson, Maruyama, Johnson, Nelson dan Skon (1981) menyelenggarakan suatu meta-analysis dari 122 studi bahwa antara 1924 dan 1981 pelajaran bersifat kooperatif mengalami prestasi-prestasi yang lebih tinggi dibanding pelajaran yang bersifat kopetitif. Teori terbaru, bukti eksperimental dan studi-studi yang diselenggarakan di dalam kelas-kelas semua menyatakan bahwa jika sekolah-sekolah ingin mengembangan kemampuan siswa secara maksimum, maka perlu dikondisikan adanya saling berhubungan di antara anak-anak baik berupa aktivitas yang bersifat kooperatif maupun mengajar ketrampilan-ketrampilan dari pelajaran yang kooperatif. Pengelolaan kelompok dan organisasi akan menjadi lebih penting dibanding pembelajaran dan penyampaikan pengetahuan.

Membutuhkan Pemahaman yang Lebih Dalam
Pelajaran kooperatif dapat pula dilakukan mulai anak-anak di dalam usia pra-sekolah hingga pada dunia profesi. Satu kasus dapat kita angkat seperti kinerja Tim Pengacara. Para pengacara yang bekerja di suatu kasus hukum yang sulit dikerjakan. Kejadian ini sama pada kita, bahwa kita dapat “mengombang-ambingkan” ide-ide di sekitar permasalahan karena dan lebih termotivasi untuk melanjutkan pelajaran, ketika kita bekerja sama. Tentunya dengan kita mau menyadari hal yang berbeda dari pandangan oranglain , bertukar pikiran,  bertukar ide untuk mencari jalan keluar dan semua berperan untuk pengembangan ketrampilan-ketrampilan pemikiran dan lebih dalam tingkat pemahaman.

Pembelajaran Menyenangkan
Anak-Anak dan orang dewasa memiliki kemiripan mereka sama-sama mempunyai  kesenangan di dalam pelajaran yang bersifat kooperatif. Pengalaman-pengalaman individu sering kali menjadi halangan terhadap pandangan-pandangan individu lain. Dari perbedaan tersebut kita dapat memposisikan diri dalam suatu peran atau kita mengetahui dapat mengelola pemikiran-pemikiran. Yang paling penting dan harus disadari bahwa dalam bekerja bersama-sama tidak diperkenankan meremehkan ide-ide orang lain dan mengunggulkan diri kita sendiri. Hal ini merupakan pengalaman-pengalaman dalam interaksi sosial yang menyenangkan, dimana pebelajar dapat melihat seluruh ketrampilan-ketrampilan pebelajar lainnya, bekerjasama dll

Mengembangkan Ketrampilan Kepemimpinan
Pelajaran kooperatif menyediakan peluang berkesinambungan untuk pengembangan ketrampilan-ketrampilan kepemimpinan. Anak-anak dengan pelajaran model ini mengalami peningkatan kemampuan utuk memahami perspektif siswa lain dan sudah lebih baik mengembangkan ketrampilan-ketrampilan pembelajaran dengan model yang bersifat perseorangan atau yang kompetitif ( Johnson &Johnson 1983, 1987).

Meningkatkan Sikap Positif
Penelitian menunjukkan bahwa ketika lingkungan itu mengizinkan atau membiarkan mereka untuk bekerja sama secara bersifat kooperatif, anak-anak lebih memiliki pandangan yang positif tentang sekolah, pelajaran dan para guru mereka. Lebih lanjut, dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan di dalam kemampuan atau latar belakang etnik, anak-anak lebih positif setelah bekerja bersama secara bersifat kooperatif dibanding setelah kerja di dalam struktur-struktur pelajaran bersifat perseorangan atau yang kompetitif. Lingkungan-lingkungan pelajaran bersifat kooperatif juga mendorong harapan-harapan lebih positif pada prilaku kerjasama dengan orang lain dan dalam mengambil bagian dalam memecahkan masalah dilingkungan yang memiliki perbedaan-perbedaan (Tukang tong et al 1980; Johnson &Johnson 1981, 1983, 1987).

Meningkatkan Kekaguman Diri Sendiri
Lingkungan-lingkungan pelajaran bersifat kooperatif dapat meningkatkan tingkat mengagumi diri sendiri di dalam anak-anak. Norem-Hebeison dan Johnson (1981) juga mengemukakan bahwa pelajaran kooperatif mengalami peningkatan proses-proses lebih sehat untuk menurunkan kesimpulan-kesimpulan tentang nilai diri sendirinya, dan bahwa sikap kerjasama cenderung untuk dapat melakukan penerimaan diri sendiri dan evaluasi diri  secara positif. Daya saing, sebaliknya, cenderung untuk dihubungkan dengan kebanggan yang bersyarat yaitu dengan keharusan memenangankan untuk dapat melakukan penerimaan diri sendiri, dan suatu situasi-situasi sikap terhadap yang bersifat perseorangan cenderung untuk dihubungkan dengan diri sendiri da bersifat penolakan

Pembelajaran yang Inklusif

Belajar bersama-sama, termasuk yang lain di dalam pelajaran yang bersifat kooperatif menggolongkan dan menyiapkan suatu lingkungan kelas yang kooperatif dengan aktif meningkatkan kepedulian dan rasa hormat untuk yang lain. Termasuk pelajaran bersifat kooperatif adalah terutama penting ketika anak-anak di dalam kelas datang dari latar belakang yang berbeda dan mempunyai suatu cakupan luas dari kemampuan-kemampuan dari setiap individu. Tendensi kesuksesan anak-anak secara individual di dalam kelas-kelas yang reguler memerlukan suatu usaha yang kooperatif. Anak-anak secara khusus dapat memainkan suatu peran yang berharga di dalam kelas tetapi hanya di mana kelas bekerja dengan aktif untuk menerima kehadiran mereka.
Pelajaran bersifat kooperatif juga mempunyai dampak-dampak penting di dalam pengembangan dari rasa hormat timbal balik dan pemahaman lebih baik antara anak-anak perempuan dan anak-anak lelaki. Belajar untuk bekerja sama, pembagian menggolongkan peran-peran dan memecahkan permasalahan di suatu cara yang bersifat kooperatif meningkatkankekaguman diri sendiri karena karena semua anak-anak dan para guru mereka mempunyai satu peran yang dihargai dan yang penting.

Rasa Memiliki Tinggi
Suatu lingkungan pelajaran yang kolaboratif mempunyai potensi luarbiasa bagi anak-anak . Ia menciptakan kepuasan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka untuk pengenalan dan menjadi anggota melalui  keterlibatan mereka dan bermanfaat dalam aktivitas.

Ketrampilan Masa Depan
Ketrampilan-ketrampilan yang bersifat kooperatif perlu bekerja secara efektif di suatu kelompok bersifat penting tidak hanya karena belajar di sekolah-sekolah hanya juga untuk keberhasilan di dalam tempat kerja dan meneruskan orang-orang di rumah.

Bekerjasama Dalam Pembelajaran
Kelas-kelas kolaboratif memiliki tiga prinsip yang penting:

    Ketrampilan-ketrampilan bersifat kooperatif diajar, berlatih dan umpan balik;
    Kelas itu didorong untuk mengkoperatifkan suatu kelompok yang terpadu.
    Individu diberi tanggung jawab.

Strategi berhubungan dengan tiga  prinsip-prinsip ini bukanlah saling berkompetisi tetapi berkooperatif . Peningkatan ketrampilan-ketrampilan yang bersifat kooperatif akan juga mempromosikan keterpaduan dan tanggung jawab.

Pengertian Kerjasama

Sebelum menguji masing-masing prinsip ini secara detil, kita perlu untuk membangun apa yang dimaksud dengan istilah kerjasama. Kerjasama sering digunakan dalam hubungan dengan kepatuhan anak-anak dengan otoritas. Kita bisa berkata, 'Kita sedang bekerja sama dengan baik, ketika setiap orang sedang duduk keheningan dan dengan tenang di suatu kelompok. Kerjasama adalah juga digunakan ketika mengacu pada anak-anak dengan tatakrama baik berbagi bahan-bahan mereka. Ini boleh jadi perilaku sosial yang sesuai di dalam keadaan yang tertentu tetapi mereka tidak berarti bahwa anak-anak perlu ambil bagian dalam suatu aktivitas belajar yang bersifat koperastif. Pelajaran bersifat kooperatif bukanlah tentang menyelaraskan. Ia sering kali menyangkut konflik pengetahuan.
Suatu aktivitas yang bersifat kooperatif dapat dikatakan ada ketika dua atau lebih orang-orang sedang bekerja bersama ke arah tujuan yang sama. Kedua unsur esensial di dalam setiap aktivitas yang bersifat kooperatif adalah persamaan tujuan dan saling ketergantungan.

Persamaan Tujuan
Semakin sebangun sasaran dari anak-anak di dalam kelompok, semakin kooperatif aktivitas itu adalah nampaknya akan. Kadang-kadang anak-anak kelihatan untuk bekerja secara bersifat kooperatif ketika meminta ejaan suatu kata atau membagi pensil-pensil selagi menggambar. tetapi mereka boleh jadir mempunyai sasaran mereka sendiri yang terpisah di dalam kasus-kasus ini.
Untuk bekerja secara bersifat kooperatif sasaran anak-anak itu tidak perlu dengan tepat atau hanya mereka harus sebangun. Jika suatu kelas sedang bekerja bersama di sangat menyenangkan dan menarik, tujuan kelompok untuk menghasilkan sangat menyenangkan dan menarik anak-anak yang lain yang di dalam sekolah tersebut akan senang dan menghargai. Masing-masing tujuan anak tidak akan tepat sama. Satu anak boleh ingin menyenangkan guru, yang lain menginginkan perhatian teman sekelas dan yang lain benar-benar menghendaki satu peluang untuk bekerja terang. Tetapi semakin sebangun sasaran semakin bersifat kooperatif aktivitas.

Saling Ketergantungan Positif
Unsur esensial yang kedua untuk setiap aktivitas untuk benar-benar bersifat kooperatif saling ketergantungan positif -pandangan berpegang kepada anggota kelompok bahwa mereka hanya dapat berhasil jika mereka bekerja sama. Saling ketergantungan positif antara individu dapat membantu perkembangan di dalam sejumlah jalan.

    Beri peranan tertentu anggota kelompok untuk melaksanakan peran. Dengan cara ini masing-masing individu mempunyai suatu tugas yang spesifik untuk melaksanakan dan sumbangan semua orang adalah perlu melengkapi tugas dengan sukses.
    Rincikan tugas ke dalam subtugas untuk melengkapi tugas utama. Masing-masing anggota kelompok diberi suatu subtugas. Keberhasilan sangat tergantung dari masukan anggota kelompok
    Nilai kelompok sebagai kesatuannya sebagai ganti secara individu. Anak-anak bisa diminta untuk bekerja diejaan mereka berdua, sebagai contoh, dengan satu penilaian dari tiap pasangan.
    Struktur-struktur tujuan kompetitif dan bersifat kooperatif dapat dikombinasikan dengan kopetisi regu. Kompetisi ini melahirkan/menyebabkan saling ketergantungan positif di dalam kelompok yang kerjasama, tetapi adalah penting bahwa anggota kelompok diubah untuk menghindari persekongkolan-persekongkolan bahwa dapat mengikis keterpaduan kelas dan moral.
    Bersaing atau melawan secara kooperatif terhadap satu gaya-luar adalah sangat berbeda dari bersaing melawan terhadap satu sama lain.
    Membuat situasi-situasi di mana kelompok itu harus bekerja sama untuk berhubungan, di dalam aturan-aturan yang dibentuk.

Belajar Ketrampilan Bersifat Kooperatif

Ketrampilan-ketrampilan sosial sebagai sebagai ketrampilan dasar.  Beri peluang anak-anak untuk mematuhi dan mempraktekkan ketrampilan-ketrampilan bersifat kooperatif dan, dengan dorongan yang sesuai, mereka akan mempelajarinya. Di dalam setiap kelas ada beberapa anak-anak yang pernah memiliki lebih sedikit peluang untuk mempelajari dan mempraktekkan ketrampilan-ketrampilan dibanding anak-anak yang lain, tetapi proses tentang pengajaran ketrampilan-ketrampilan adalah sama untuk semua: buat eksplisit ketrampilan, menyediakan praktek, dan memberi umpan balik; dan mendorong cerminan/pemantulan.
Di dalam kelas yang kolaboratif, guru dan anak-anak secara terus menerus disibukkan dengan proses tentang pengamatan, mempraktekkan dan memberi umpan balik sekitar efektivitas dari ketrampilan-ketrampilan mereka yang bersifat kooperatif.

Pengertian Ketrampilan Bersifat Kooperatif
Ada empat bidang yang di mana ketrampilan-ketrampilan yang bersifat kooperatif diperlukan: pembentukan menggolongkan, bekerja sebagai kelompok, memecahkan masalah sebagai kelompok dan mengolah perbedaan-perbedaan (yang yang didasarkan pada sebagian di Johnson dan Johnson 1986).

Membentuk dan Menggolongkan
Kapan pun diperlukan kita dapat membentuk, memasangkan atau menggolongkan, ketrampilan-ketrampilan bersifat kooperatif. Ini adalah paling nyata ketika kita diminta untuk bekerja dengan yang lain yang kita tidak mengenal atau yang kita melihat sebagai yang berbeda. Di dalam anak-anak umum temukan di dalam kelompok-kelompok dengan sahabat karib, tetapi bentuk wujud lain perlu juga digunakan.
Ada beberapa keuntungan-keuntungan kepada kelompok-kelompok yang heterogen di mana anak-anak dengan ketrampilan-ketrampilan bersifat kooperatif yang khusus dapat bertindak sebagai model-model untuk anak-anak siapa yang akan memperoleh manfaat dengan melihat ketrampilan-ketrampilan ini dalam peran. Di dalam anak-anak kelompok-kelompok yang dicampur mempunyai peluang untuk mempelajari lebih banyak dari  jenis kelamin yang berbeda dan dari budaya yang berbeda. Sebagian dari anak-anak ketrampilan mungkin perlu untuk awal bekerja sebagai kelompok termasuk:

    pembuatan ruang
    pembuatan pasangan-pasangan
    pembuatan kontak mata
    pemahaman kelompok
    menggunakan suara-suara tenang
    menggunakan nama-nama kelompok
    mengambil giliran
    pembentukan menggolongkan tanpa mengganggu yang lain
    membiarkan seseorang untuk berbicara